Pariwisata
Budaya
Pengertian
pariwisata budaya menurut Geriya (1995:103) adalah salah satu jenis pariwisata
yang mengandalkan potensi kebudayaan
sebagai daya tarik yang paling dominan serta sekaligus memberikan identitas
bagi pengembangan pariwisata tersebut. Dalam kegiatan pariwisata terdapat
sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata yakni: 1) kerajinan, 2)
tradisi, 3) sejarah dari suatu tempat/daerah, 4) arsitektur, 5) makanan
lokal/tradisional, 6) seni dan musik, 7) cara hidup suatu masyarakat, 8) agama,
9) bahasa, 10) pakaian lokal/tradisional (Shaw dan William, 1997). Elemen
budaya tersebut tampaknya sangat relevan dengan jenis kepariwisataan yang
dikembangkan di Bali, yaitu pariwisata budaya.
Pariwisata budaya merupakan
aktivitas yang memungkinkan wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh
pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat dan
istiadatnya, tradisi religiusnya dan ide-ide intelektual yang terkandung dalam
warisan budaya yang belum dikenalnya (Borley, 1996: 181). Sirtha (2001)
mengemukakan motivasi pariwisata budaya, antara lain: 1) mendorong
pendayagunaan produksi daerah dan nasional; 2) mempertahankan nilai-nilai
budaya, norma, adat istiadat dan agama; 3) berwawasan lingkungan hidup, baik
lingkungan alam maupun lingkungan sosial (Arismayanti, 2006).
Pada Perda Nomor 3 Tahun 1991
pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pariwisata budaya adalah untuk
memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu obyek dan
daya tarik wisata, mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama
dan kebudayaan alam Bali yang berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan
meniadakan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan kegiatan
kepariwisataan (Diparda Propinsi Bali, 2000).
Ada 12 unsur kebudayaan yang dapat menarik
kedatangan wisatawan, yaitu:
·
Bahasa (language).
·
Masyarakat (traditions).
·
Kerajinan tangan (handicraft).
·
Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating
habits).
·
Musik dan kesenian (art and music).
·
Sejarah suatu tempat (history of the region)
·
Cara Kerja dan Teknolgi (work and technology).
·
Agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita
atau sesuatu yang dapat disaksikan.
Bentuk dan karakteristik arsitektur di
masing-masing daerah tujuan wisata (architectural characteristic in the area).
v Tata
cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes).
v Sistem
pendidikan (educational system).
v Aktivitas
pada waktu senggang (leisure activities).
Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.
Objek-objek tersebut tidak jarang dikemas khusus bagi penyajian untuk turis, dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Dalam hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan seni dan kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering harus diambil. Kalangan seni mengatakan bahwa pengemasan khusus objek-objek tersebut untuk turis akan menghilangkan keaslian dari suatu budaya, sedangkan kalangan pariwisata mengatakan bahwa hal tersebut tidaklah salah asalkan tidak menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni.
Pariwisata
merusak budaya
Kaum yang menentang pariwisata
berbasis budaya berpendapat bahwa kedatangan turis ke daerah tujuan wisata
dapat merusak keaslian atau keutuhan hayati suatu produk budaya. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau, menghancurkan
kebudayaan lokal. Pariwisata secara langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan
lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi
budaya dikomodifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan. Contoh kasusnya
adalah Sendra Tari Ramayana, tidak lagi disajikan secara utuh, peranan skenario
tidak berfungsi lagi. Selain itu, tari Kecak juga mengalami nasib serupa.
Pertunjukkan tari Kecak yang mudah disaksikan di Bali, kelihatan nilai
sakralnya sudah terpotong-potong karena harus disesuaikan dengan waktu
wisatawan yang ingin menyaksikannya
Pariwisata
memperkuat budaya
Walaupun
tidak sedikit pihak yang menentang perkembangan pariwisata berbasis budaya ini,
namun banyak juga Sosiolog dan Antropolog yang justru melihat bahwa pariwisata
(internasionalisasi) tidak merusak kebudayaan, melainkan justru memperkuat,
karena terjadinya proses yang disebut involusi kebudayaan (cultural
involution). Hal tersebut bisa dilihat dari kasus Bali. McKean (1978)
mengatakan,... meskipun perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali, …
semua itu terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan
tradisional … Kepariwisataan pada kenyataannya telah memperkuat proses
konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi.
~McKean (1978)
Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974) Tidak ada budaya asli.
Philip F. McKean (1973) bahkan menulis bahwa “the traditions of Bali will prosper in direct proportion to the success of tourist industry” (dikutip dalam Wood, 1979). Ahli lain berpendapat bahwa dampak kepariwisataan di Bali bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat (Lansing, 1974) Tidak ada budaya asli.
Terlepas
dari pro kontra tersebut, sosiolog Selo Soemardjan mengungkapkan pendapatnya.
Menurutnya, kebudayaan akan terus berkembang, karena memang dengan sengaja atau
tidak, memang terus berkembang, karena adanya rangsangan, seperti adanya
perkembangan industri pariwisata. Proses saling memengaruhi adalah gejala yang
wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai
masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang
mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses
dipengaruhi dan memengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting
dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan keadaan yang senantiasa berubah, atau dengan kata lain budaya adalah
suatu hal yang dinamis, yang terus berkembang seiring perputaran waktu, baik
karena dipengaruhi pariwisata ataupun dipengaruhi masyarakat pemilik kebudayaan
itu sendiri.
Perkembangan
Pada
waktunya nanti, diramalkan objek wisata yang diminati wisman (wisatawan
mancanegara)lebih banyak terpusat pada hasil kebudayaan suatu bangsa. Oleh
karena itu dalam industri pariwisata nanti, hasil kebudayaan bangsa merupakan
“komoditi” utama untuk menarik wisman berkunjung ke Indonesia. Di samping itu,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PATA tahun 1961 di Amerika Utara,
diperoleh suatu kesimpulan bahwa lebih dari 50% wisman yang mengunjungi Asia
dan daerah Pasifik, motivasi perjalanan wisata mereka adalah untuk melihat dan
menyaksikan adat-istiadat, the way of life, peninggalan sejarah,
bangunan-bangunan kuno yang tinggi nilainya. Pendapat tersebut tidaklah salah.
Menurut penelitian Citra Pariwisata Indonesia pada tahun 2003, budaya merupakan
elemen pariwisata yang paling menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang
ke Indonesia. Budaya mendapatkan skor 42,33 dari wisatawan mancanegara dalam
kategori 'sangat menarik' dan berada di atas elemen lainnya seperti keindahan
alam dan peninggalan sejarah, dengan skor masing-masing 39,42 dan 30,86. Hal
tersebut membuktikan bahwa atraksi budaya merupakan hal yang paling disukai
para turis dari pariwisata di Indonesia.
Pariwisata
Berbasis Budaya di Indonesia
Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Jogjakarta khususnya kota Jogjakarta. Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni ,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar Yogyakarta yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.
Penerapan kegiatan pariwisata berbasis budaya di Indonesia telah ditunjukkan oleh beberapa provinsi. Selain provinsi Bali, provinsi lain yang fokus dalam pelaksanaan sektor ini adalah Daerah Istimewa Jogjakarta khususnya kota Jogjakarta. Sejak tahun 2008, daerah ini telah mencanangkan diri sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Di Jogjakarta, pengembangan pariwisata disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya Jawa yang selaras dengan sejarah dan budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Banyak rencana aksi telah dicanangkan untuk mendukung pelaksanaan program ini. Mulai dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas, memperbanyak event-event wisata, seni ,dan budaya, sampai ke optimalisasi pemasaran program. Hasilnya pun mulai terlihat, salah satunya adalah keberadaan Taman Pintar Yogyakarta yang tidak hanya memiliki arena permainan, tetapi juga mengajak pengunjung untuk mengenal sejarah dan budaya Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar